Santri tersebut menjalani perawatan selama 11 hari—terdiri dari 8 hari di ruang ACU (perawatan intensif) dan 3 hari di ruang rawat inap. Selama itu, ia tidak sadarkan diri dan baru mulai sadar tiga hari terakhir. Meski begitu, rumah sakit tetap memutuskan untuk memulangkannya, padahal pasien masih menggunakan alat bantu pernapasan (selang) dan belum bisa berkomunikasi dengan lancar.
Keluarga korban mengungkapkan bahwa dokter memang menyebut pasien sudah mulai “nyambung” saat diajak bicara. Namun, menurut mereka, itu baru menunjukkan gejala sadar, bukan berarti sudah pulih. “Anak ini masih lemah dan belum bisa berkomunikasi dengan lancar,” ujar perwakilan keluarga.
Yang lebih memprihatinkan, pasien sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Artinya, negara seharusnya menanggung seluruh biaya pengobatan. Namun, pelayanan yang diterima justru tidak manusiawi karena pasien dipulangkan sebelum benar-benar siap secara medis.
Kondisi pasien yang cukup serius sebenarnya ditunjukkan oleh keterlibatan enam dokter dan perawat selama masa perawatan. Namun, keputusan rumah sakit tetap menimbulkan tanda tanya besar bagi keluarga.
Pihak keluarga meminta Dinas Kesehatan dan BPJS Kesehatan memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Mereka juga berharap ada evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pelayanan di Rumah Sakit Hermina, terutama dalam menangani pasien dengan kondisi kritis.