Hasil penelusuran jurnalexpose.com mengungkap bahwa acara tersebut tidak hanya digelar di hotel berbintang, tetapi juga disertai pungutan biaya sebesar Rp1 juta per siswa. Selain itu, orang tua yang ingin membawa anggota keluarga tambahan diwajibkan membayar Rp160 ribu per kursi.
“Kami wajib membayar satu juta rupiah per anak. Kalau mau tambah tempat duduk untuk keluarga, harus bayar lagi Rp160 ribu. Bagi kami yang penghasilannya pas-pasan, ini sangat memberatkan,” ujar seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Acara tersebut diduga bertentangan dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil Nomor 42/PK.03.04/KESRA Tahun 2025, yang secara tegas melarang pelaksanaan kegiatan perpisahan siswa di tempat mewah serta dengan pembiayaan tinggi. Edaran ini diterbitkan untuk menghindari praktik komersialisasi pendidikan serta menanamkan nilai kesederhanaan dalam kegiatan seremonial sekolah.
Surat edaran tersebut berlaku bagi seluruh satuan pendidikan, dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK, baik negeri maupun swasta.
Beberapa regulasi yang relevan dan diduga dilanggar oleh SMP IT Al-Bunyan antara lain:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas):
Pasal 9 huruf j: Larangan adanya pungutan tidak sah oleh satuan pendidikan.
Pasal 30 ayat (2): Pendidikan harus diselenggarakan secara efisien, transparan, dan tidak membebani peserta didik serta orang tua.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan:
Melarang penyelenggaraan kegiatan non-pembelajaran yang membebani orang tua tanpa dasar anggaran yang sah.
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 42/PK.03.04/KESRA Tahun 2025:
“Wisuda atau perpisahan siswa dilakukan secara sederhana, kreatif, edukatif, dan tanpa membebani orang tua/wali murid secara finansial.”
Upaya konfirmasi kepada pihak sekolah telah dilakukan berulang kali, namun tidak membuahkan hasil. Tim media mengajukan lima permintaan wawancara kepada panitia dan kepala sekolah, namun tidak mendapat tanggapan. Pihak sekolah hanya memberi alasan seperti “masih sibuk” atau “kepala sekolah sudah pulang”.
Salah satu guru yang menjadi panitia kegiatan akhirnya mengatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab “tidak berada di tempat,” tanpa memberikan keterangan lebih lanjut. Sikap ini menimbulkan kesan bahwa pihak sekolah sengaja menghindari klarifikasi publik.
Menanggapi hal ini, Ade Suhendar, Wakil Ketua DPC Forum Jurnalis Peduli Pendidikan (FJP2) Bogor Raya, meminta Dinas Pendidikan Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk segera:
- Mengevaluasi kegiatan sekolah yang memungut biaya tanpa dasar hukum yang sah; dan
- Menegakkan aturan Gubernur yang bertujuan melindungi masyarakat dari praktik komersialisasi pendidikan.
(Ade)