Iklan

Iklan

Iklan

Ketika Pejabat Lebih Memilih Media Sosial daripada Media Massa

JurnalExpose
Kamis, 10 Juli 2025, 12:46 WIB Last Updated 2025-07-10T11:30:09Z


Oleh Redaksi JurnalExpose


Di era digital seperti sekarang, banyak pejabat publik yang lebih memilih menyampaikan program, kegiatan, atau tanggapannya melalui media sosial pribadi dibanding melalui media massa konvensional. Fenomena ini semakin jamak terlihat, mulai dari pejabat bawah hingga tinggi. Pertanyaannya, apakah tren ini sehat untuk demokrasi dan keterbukaan informasi publik?


Media sosial memang menawarkan kecepatan dan keleluasaan. Dengan satu unggahan, seorang pejabat bisa menjangkau ribuan bahkan jutaan pengikut. Mereka bisa mengatur sendiri narasi, memilih sudut pandang, bahkan menentukan waktu tayang tanpa harus menunggu proses redaksi seperti di media massa.


Namun di balik kemudahan itu, ada yang dikorbankan: fungsi kontrol dan verifikasi dari jurnalisme profesional. Ketika informasi hanya disampaikan satu arah dari media sosial, publik hanya menerima versi tunggal tanpa ruang klarifikasi, konfirmasi, atau kritik. Media massa, dalam ekosistem demokrasi, bukan hanya sebagai penyampai kabar, tetapi sebagai penjaga kebenaran dan penyeimbang kekuasaan.


Dengan menjauh dari media massa, pejabat kehilangan kesempatan untuk diuji dan ditantang secara intelektual. Pertanyaan-pertanyaan kritis dari wartawan bukanlah gangguan, melainkan mekanisme penting untuk menjaga transparansi dan mencegah kesewenang-wenangan.


Lebih jauh, dominasi media sosial juga menimbulkan risiko disinformasi. Tanpa editor, tanpa verifikator, dan tanpa kode etik jurnalistik, unggahan media sosial bisa saja bias, tidak lengkap, atau bahkan menyesatkan. Narasi pencitraan bisa dibangun semaunya, tanpa akurasi data yang bisa diuji.


Tentu kita tidak bisa menafikan kemajuan teknologi dan kebutuhan pejabat untuk adaptif di ruang digital. Tetapi memilih media sosial bukan berarti meninggalkan media massa. Keduanya harus berjalan beriringan, saling melengkapi. Pejabat yang bijak adalah mereka yang terbuka di semua kanal komunikasi—baik media sosial maupun media massa—karena keduanya berfungsi untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.


Demokrasi yang sehat butuh ruang diskusi, bukan hanya etalase pencitraan.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Iklan

DPRD

+