Ketua Umum FWJ Indonesia, Mustofa Hadi Karya alias Opan, menegaskan bahwa polemik antara dokter spesialis penyakit dalam RSUD Sekayu, dr. Syahpri Putra Wangsa, dengan keluarga pasien lansia Rita binti Yarob, harus dilihat secara objektif. Ia menilai kasus ini sudah berkembang menjadi opini liar yang tidak sehat.
“Banyak pihak, termasuk Menteri Kesehatan, IDI, pejabat publik Banyuasin, hingga tokoh masyarakat, ikut melontarkan pernyataan yang kurang bijak. Ini justru membangun narasi tidak elok yang memanaskan situasi,” tegas Opan.
Opan meluruskan isu bahwa Ismet Saputra Wijaya—anak pasien—bukanlah provokator sebagaimana diberitakan, melainkan jurnalis dari media online metromedianews.co dan anggota aktif FWJ Indonesia Korwil Jakarta Barat sejak tiga tahun lalu.
Menurut Opan, tindakan emosional keluarga pasien muncul karena layanan medis yang tidak transparan. Mereka menunggu hasil laboratorium sejak 8 Agustus hingga 12 Agustus 2025 tanpa kejelasan, sehingga memicu desakan kepada dokter untuk membuka masker saat di ruang isolasi VIP.
“Viralnya nama dr. Syahpri bukan dari pihak keluarga pasien, melainkan dari unggahan akun media sosial Mimin Sekayu yang diduga terafiliasi dengan pihak rumah sakit,” ungkap Opan.
Dewan pendiri sekaligus advokat FWJ Indonesia, Daniel Minggu, SH., menambahkan fakta mengejutkan. Pihak keluarga pasien telah meminta rekaman CCTV saat insiden terjadi, namun RSUD Sekayu menyebut rekaman tersebut hilang karena tersambar petir.
“Alasan ini janggal. Jika benar, itu menunjukkan lemahnya sistem keamanan dan transparansi rumah sakit modern. Polisi harus menyelidikinya sesuai prinsip Presisi,” kata Daniel.
Ia juga menegaskan, penegakan hukum tidak boleh bergantung pada viralitas, tetapi harus mengedepankan asas Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan Hukum (KKM).
Sementara itu, Ismet Saputra Wijaya membantah isu yang menyebut dirinya mengaku sebagai keluarga Bupati Musi Banyuasin.
“Kami datang ke RSUD Sekayu murni sebagai pasien, bukan membawa nama pejabat atau kerabat siapa pun. Tuduhan itu tidak benar,” tegasnya.
FWJ Indonesia menilai kasus RSUD Sekayu bukan sekadar miskomunikasi, melainkan potret lemahnya sistem pelayanan kesehatan publik, transparansi informasi, serta pengawasan rumah sakit.
“Jika ruang VIP saja tidak transparan, bagaimana nasib pasien kelas tiga?” sindir Daniel.
Dalam pernyataan penutup, FWJ Indonesia mendesak Menteri Kesehatan, pengurus IDI, pejabat publik Sumsel, dan pihak RSUD Sekayu agar tidak membangun opini sepihak.
“Kasus ini harus dijadikan evaluasi besar bagi sistem kesehatan nasional agar lebih berpihak pada hak-hak pasien,” pungkas Opan.