HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

DPR Geram Debt Collector Makin Beringas, OJK Didesak Hapus Aturan Penggunaan Jasa Penagih Utang

Jakarta Aksi penagihan utang oleh debt collector yang semakin brutal dan sering berujung pada kekerasan membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) geram. Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera menghapus aturan yang melegalkan penggunaan jasa penagih utang pihak ketiga.

Aturan yang dimaksud adalah Pasal 44 ayat (1) dan (2) Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Abdullah, pasal ini justru menjadi payung hukum bagi praktik penagihan yang tidak manusiawi dan sering berujung pada tindak pidana.

“Saya mendesak OJK menghapus aturan pelaku jasa keuangan yang boleh melakukan penagihan utang menggunakan jasa pihak ketiga,” tegas Abdullah dalam keterangan resminya, Minggu (12/10/2025).

Ia menilai praktik di lapangan jauh dari ketentuan dan sering berujung kekerasan. “Masalah utang harus diselesaikan secara perdata, bukan dengan cara-cara premanisme,” tambahnya.

Abdullah mengaku prihatin dengan meningkatnya kasus kekerasan yang melibatkan penagih utang. Ia mencontohkan peristiwa terbaru di Tangerang, ketika seorang debt collector berinisial L (38) mengancam akan menghajar anggota polisi saat menarik kendaraan, Kamis (2/10/2025). Pelaku kini ditetapkan sebagai tersangka.

Insiden serupa juga terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah, di hari yang sama. Mobil yang dikendarai para penagih utang justru diamuk warga karena menimbulkan keributan di lingkungan pemukiman.

“Pelanggaran yang dilakukan para penagih ini sudah banyak diadukan masyarakat,” ujar Abdullah.

OJK mencatat, sepanjang Januari–Juni 2025 terdapat 3.858 aduan masyarakat terkait perilaku kasar dan tidak etis oleh pihak ketiga dalam proses penagihan utang.
Abdullah menyoroti lemahnya pengawasan lembaga keuangan terhadap perilaku para penagih.

“Pertanyaannya, sudah berapa banyak perusahaan jasa keuangan yang diberi sanksi administratif atau pidana?” sindirnya.

Sebagai solusi, Abdullah mendorong agar sengketa utang-piutang dikembalikan ke ranah hukum perdata. Dengan mekanisme ini, seluruh proses penagihan, penjaminan, hingga penyitaan harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

“Melalui jalur perdata, prosesnya lebih transparan dan menghormati hak debitur,” jelasnya.

Debitur yang gagal bayar pun bisa tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) sebagai bentuk sanksi administratif, bukan kekerasan fisik.

Abdullah menegaskan bahwa meskipun penagihan adalah hak kreditur, prosesnya tidak boleh melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Negara hukum yang beradab bukan diukur dari seberapa banyak orang dipaksa membayar utang, tetapi dari seberapa jauh hak-hak manusia dihormati dalam proses itu,” pungkasnya.

(Sumber: suara.com | Robby)