BLTS Kesra Diduga “Berkurang Rasa”, KPM Cipanas Bertanya: Ini Bantuan atau Iuran?
Kab. Lebak — Bantuan Langsung Tunai Sosial (BLTS) Kesra yang sejatinya hadir untuk meringankan beban masyarakat, di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, justru diduga datang dengan “rasa tambahan”. Sejumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) mengaku bantuan yang diterima tidak sepenuhnya utuh, karena diduga ada pungutan yang menyertai proses pencairan.
Bukan tanpa alasan, para KPM menyebut adanya permintaan uang dengan beragam dalih, mulai dari administrasi hingga pengkondisian agar bantuan dapat dicairkan. Praktik ini pun memunculkan pertanyaan di tengah masyarakat: BLTS ini bantuan negara atau iuran tak tertulis?
Dugaan tersebut menyeret nama oknum pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) berinisial IY, serta Koordinator Kecamatan (Korcam) berinisial DS dan KG. Meski demikian, hingga kini semua masih berada pada ranah dugaan yang perlu pembuktian lebih lanjut oleh pihak berwenang.
Cerita dugaan pungutan ini makin menarik perhatian publik setelah muncul pengakuan dari IP, salah satu oknum Pemerintah Desa Bintangsari. Menurutnya, pungutan tersebut disebut-sebut lahir dari hasil musyawarah.
“Itu hasil musyawarah dengan pendamping PKH dan Korcam. Semua desa diminta Rp2 juta per desa,” ujar IP kepada awak media, Kamis (27/11/2025).
Pernyataan tersebut seolah menambah daftar pertanyaan: musyawarah untuk kepentingan siapa, dan apakah KPM juga ikut dimusyawarahkan?
Di sisi lain, IY, selaku pendamping PKH, saat dikonfirmasi justru mengakui adanya pungutan terhadap KPM serta setoran dari desa.
“Ada pungutan Rp100 ribu per KPM dan ada setoran Rp2 juta per desa,” ungkapnya.
Pengakuan ini pun semakin memperkuat dugaan adanya praktik yang berpotensi menyimpang dari aturan penyaluran bantuan sosial.
Upaya konfirmasi juga dilakukan kepada Koordinator Kabupaten (Korkab) PKH. Namun, jawaban yang diterima dinilai singkat dan belum menyentuh pokok persoalan.
“Pendamping PKH fokus ke tugas PKH. Program lain sifatnya membantu, sesuai perintah atasan,” jawabnya melalui pesan WhatsApp.
Pernyataan ini justru memunculkan tafsir beragam di kalangan publik, terutama soal sejauh mana pengawasan dilakukan.
Sejumlah aktivis menilai persoalan ini bukan semata soal nominal pungutan, melainkan prinsip keadilan dan transparansi. Bantuan sosial, sekecil apa pun, semestinya diterima utuh tanpa embel-embel.
Jika dugaan pungutan ini terbukti, maka perbuatan tersebut berpotensi bertentangan dengan aturan perundang-undangan, termasuk regulasi yang secara tegas melarang pungutan dalam penyaluran bantuan sosial.
Menanggapi hal ini, Amri, anggota LSM GMBI, meminta Aparat Penegak Hukum (APH) tidak sekadar menjadi penonton.
“Kalau benar terjadi, ini ironi. Bantuan untuk masyarakat miskin justru berubah jadi beban. APH perlu turun tangan agar semuanya terang,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang terkait kebenaran dugaan tersebut. Media ini tetap membuka ruang klarifikasi dan hak jawab bagi seluruh pihak yang disebutkan, demi menjaga asas keberimbangan dan praduga tak bersalah.
( Hkz )
