Ketum PITI Dr. Ipong Hembing Putra Soroti Carut-Marut Kepastian Hukum: Merek PITI Dimenangkan PTUN Meski Sudah Inkracht di MA
Jakarta — Kepastian hukum di Indonesia kembali dipertanyakan. Sengketa merek Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) mencuat ke ruang publik setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Perkumpulan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang dipimpin pihak lain, meskipun Mahkamah Agung (MA) sebelumnya telah memutus perkara tersebut secara final dan mengikat (inkracht van gewijsde).
PTUN Jakarta mengabulkan gugatan terhadap Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.4-KI.06.07.03-1569, yang sebelumnya membatalkan merek PITI. Putusan ini menuai kontroversi karena bertolak belakang dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 32/Pdt.Sus-HKI/Merek/2023/PN.Niaga Jkt.Pst, yang menolak gugatan serupa, serta putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 618 K/Pdt.Sus-HKI/2024, yang menguatkan Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia di bawah kepemimpinan Dr. Hembing Wijaya Kusuma sebagai pemilik sah merek PITI.
Putusan Inkracht MA Dilanggar?
Sesuai Pasal 191 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Namun, pembatalan SK Menteri oleh PTUN justru mengembalikan hak merek kepada pihak yang telah kalah di MA. Kondisi ini memicu kekhawatiran serius terhadap kepastian hukum dan konsistensi sistem peradilan nasional.
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, sengketa merek antar subjek hukum privat seharusnya diselesaikan melalui Pengadilan Niaga, bukan jalur administrasi. Sementara itu, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan membatasi kewenangan PTUN hanya pada pengujian keabsahan tindakan administrasi, bukan menentukan kepemilikan merek yang telah diputus pengadilan perdata hingga tingkat kasasi.
PWOD: Ini Pembangkangan Terhadap Mahkamah Agung
Ketua Umum DPP Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara (PWOD), Feri Rusdiono, SH, menilai putusan PTUN Jakarta sebagai bentuk pembangkangan terbuka terhadap Mahkamah Agung.
“Ini bukan lagi perbedaan tafsir hukum. Ini adalah pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Agung. Ketika PTUN berani menilai ulang kepemilikan merek yang sudah inkracht, maka yang terjadi adalah kudeta hukum melalui jalur administrasi,” tegas Feri.
Ia menyebut putusan tersebut sebagai racun bagi negara hukum.
“Jika putusan MA bisa dianulir secara tidak langsung lewat gugatan administrasi, maka pengadilan tertinggi di republik ini direduksi menjadi formalitas kosong. Ini pelecehan terhadap sistem peradilan,” ujarnya.
Feri juga menuding adanya rekayasa hukum sistematis.
“Kalah di perdata, lalu ganti jalur ke administrasi. Ini modus busuk yang membuka ruang mafia perkara. Asas res judicata dihancurkan tanpa rasa bersalah,” tandasnya.
FA Indonesia: Preseden Berbahaya bagi Peradilan
Sorotan tajam juga datang dari Ketua DPC Federasi Advokat Indonesia (Federasi) Pemalang, Aji Suriyanto, SH, MH. Ia menilai PTUN Jakarta telah menciptakan preseden berbahaya dengan mengadili ulang perkara yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Ketika sengketa merek sudah diputus secara final dan mengikat, tidak ada ruang hukum untuk membukanya kembali melalui jalur administratif, apalagi dengan dalih perubahan subjek atau struktur organisasi,” tegas Aji.
Menurutnya, tindakan tersebut melanggar asas res judicata pro veritate habetur dan mencederai prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
“Hak hukum yang telah diuji dan ditetapkan melalui putusan inkracht tidak boleh dipreteli kembali lewat PTUN. Jika praktik ini dibiarkan, maka tidak akan ada lagi putusan yang benar-benar final,” ujarnya.
Aji juga mempertanyakan independensi PTUN Jakarta dalam perkara tersebut dan menegaskan bahwa putusan itu berpotensi bertentangan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung.
“Ini bukan lagi soal tafsir hukum, tetapi keberanian pengadilan menjaga marwah keadilan atau tunduk pada tekanan kepentingan,” pungkasnya.
Ancaman Serius bagi Kepastian Hukum Nasional
Putusan PTUN Jakarta dalam sengketa merek PITI dinilai tidak hanya berdampak pada kedua organisasi, tetapi juga mengancam kepastian hukum nasional. Praktik mengulang sengketa yang telah kalah di MA melalui jalur administratif berpotensi merusak supremasi hukum dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
Publik hukum mendesak agar SK Kemenkumham yang dibatalkan PTUN segera ditinjau ulang, guna mencegah preseden berbahaya dan menjaga kewibawaan Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan di Indonesia.
Kasus PITI menjadi alarm keras: ketika putusan MA yang inkracht masih bisa dipatahkan melalui prosedur administratif, maka hukum berisiko kehilangan makna dan kepastian. (Red)
